KONFLIK
Konflik berasal dari kata kerja Latin configere yang
berarti saling memukul. Secara sosiologis, konflik diartikan sebagai suatu
proses sosial antara dua orang atau lebih (bisa juga kelompok) dimana salah
satu pihak berusaha menyingkirkan pihak lain dengan menghancurkannya atau
membuatnya tidak berdaya.
Tidak satu masyarakat pun yang tidak pernah mengalami konflik
antar anggotanya atau dengan kelompok masyarakat lainnya, konflik hanya akan
hilang bersamaan dengan hilangnya masyarakat itu sendiri.
Konflik
dilatarbelakangi oleh perbedaan ciri-ciri yang dibawa individu dalam suatu interaksi.
Perbedaan-perbedaan tersebut diantaranya adalah menyangkut ciri fisik,
kepandaian, pengetahuan, adat istiadat, keyakinan, dan lain sebagainya. Dengan
dibawasertanya ciri-ciri individual dalam interaksi sosial, konflik merupakan
situasi yang wajar dalam setiap masyarakat dan
tidak satu masyarakat pun yang tidak pernah mengalami konflik antar anggotanya
atau dengan kelompok masyarakat lainnya, konflik hanya akan hilang bersamaan
dengan hilangnya masyarakat itu sendiri.
Konflik bertentangan
dengan integrasi. Konflik dan Integrasi berjalan
sebagai sebuah siklus di masyarakat. Konflik yang terkontrol akan menghasilkan
integrasi. Sebaliknya, integrasi yang tidak sempurna dapat menciptakan konflik.
CONTOH KASUS DALAM KONFLIK ORGANISASI
berikut adalah beberapa contoh kasus dalam organisasi, simak
selengkapnya :
Pembabatan hutan adat di Kalimantan
Tengah terus berlangsung seperti terjadi di kawasan hutan Tamanggung Dahiang di
Desa Tumbang Dahui, Kecamatan Katingan Hulu, Kabupaten Katingan pada bulan awal
Nopember 2002. Kejadian ini sebenarnya telah diketahui oleh seorang tokoh desa
bernama Salin R. Ahad yang kemudian permasalahan ini dilaporkan ke Polda,
Kejaksaan Tinggi, dan DPRD Propinsi Kalteng yang dianggap menginjak-injak harga
diri masyarakat adat dan hukum-hukum adat setempat. Kemudian tokoh desa itu
juga mengungkapkan keterlibatan oknum-oknum BPD (Badan Perwakilan Desa) yang
ikut membekingi dan melakukan pembabatan hutan adat tersebut.
Kejadian yang hampir sama terjadi pada
pertengahan bulan Juni 2002. 189 warga desa di wilayah Kecamatan Gunung Purei,
Kabupaten Barito Utara menuntut HPH PT. Indexim dan PT. Sindo Lumber telah
melakukan pembabatan hutan di kawasan Gunung Lumut. Kawasan hutan lindung
Gunung Lumut di desa Muara Mea itu oleh masyarakat setempat dijadikan kawasan
ritual sekaligus sebagai hutan adat bagi masyarakat dayak setempat yang
mayoritas pemeluk Kaharingan. Sebelum kejadian ini telah diadakan pertemuan
antara masyarakat adat dan HPH-HPH tersebut.
Namun setelah sekian lama ternyata isi
kesepakatan tersebut telah diubah oleh HPH-HPH itu dan ini terbukti bahwa
perwakilan-perwakilan masyarakat adat dengan tegas menolak dan tidak mengakui
isi dari kesepakatan itu.
Selain itu, konflik yang terjadi antara
mayarakat desa Tumbang Dahui denga perusahaan PT.Indexin dan PT.SindoLumber
disebabkan dengan hal-hal seperti berikut:
- Masalah
tata batas yang tidak jelas dari 2 belah pihak
- Pelanggaran
adat yang disebabkan perusahaan tersebut
- Ketidakadilan
aparat hukum dalam menyelsaikan persoalan
- Hancurnya
penyokong antara masyarakat adat dan masyarakat hutan akibat rusak dan
sempitnya hutan
- Tidak
ada kontribusi positif pengelola hutan dengan masyarakat adat dan
masyarakat di sekitar hutan.
- Perusahaan
tidak melibatkan masyarakat adat dan masyarakat disekitar hutan dalam
pengusahaan hutan.
Seharusnya,aparat keamanan yang
bertugas melindungi masyarakat bisa menindak lanjuti kedua perusahaan
tersebut,karena perusahaan PT.Indexin dan PT.Sindo Lumber telah
melanggar tentang pengelolaan hutan.Keduaperusahaan tersebt telah membabat
habis hutan di kawasan gunung lumut tersebut, apalagi hutan tersebut merupakan
hutan lindung. Selain itu aparat kemanan juga dapat menangkap oknum BPD
tersebut, karena oknum tersebut terlibat langsung dalam kerjasama dengan kedua
perusahaan tersebut. Oknum ini harusnya menghalangi tindakan kedua perusahaan
tersebut dalam pembabatan hutan.
Agar menghindari konflik dengan
masyarakat sekitar,perusahaan juga seharusnya bersikap baik dalam lingkumgan
sekitar.Seperti tidak melakukan pembabatan hutan lindung. Lalu jika melakukan
penebangan pohon di hutan, harus melakukan reboisasi(penanaman ulang pohon).
Hormat kepada masyarakat sekitar dan adat dan berlaku, karena masyarakat
Kalimantan terkenal dengan adatnya yang harus di jaga secara turun menurun.
Jika hal itu dilakukan oleh perusahaan, mungkin tidak ada yang namanya konflik
eksetrnal.
dari beberapa contoh kasus diatas, kita dapat menganalisa bahkan
mengambil sebuah keputusan yang bisa digunakan untuk pedoman dalam
menyelesaikan kasus-kasus tersebut. untuk lebih jelasnya lihat penjelasan
tentang Konflik Organisasi berikut :
Salah satu yang sering muncul dalam
upaya melakukan inovasi organisasi adalah terjadinya konflik di dalam
organisasi. Sebagai mana lazim diketahui bahwa suatu organisasi secara ke
seluruhan terdiri atas individu dan/atau tim kerja. Sebelum membahas persoalan
konflik ini lebih jauh, ada baiknya kita menyinggung kembali sepintas tentang
inovasi organisasi dari sisi yang lain. Dalam melakukan upaya perubahan
organisasi dapat diidentifikasi tiga tahap proses perubahan, yakni proses peman
asan atau pencairan (unfreezing), proses pengubahan (changing), dan proses
pembekuan kembali (refreezing). Tujuan proses pemanasan adalah memotivasi dan
mengkondisikan individu dan/atau tim kerja agar siap melakukan perubahan. Tahap
ini merupakan proses pencairan, dengan melakukan pengaturan kembali
faktor-faktor yang mempengaruhi individu dan/atau tim kerja sehingga mereka
dapat melihat adanya kebutuhan untuk berubah. Untuk melakukan proses pencairan
ini dapat ditempuh langkah sebagai berikut, pertama, memindahkan pekerja yang
hendak diubah dari kebiasaan rutinitasnya. Yang kedua, yaitu mengubah sumber
informasi dan hubungan sosial antar individu dan/ atau tim kerja, dan ketiga
adalah mengecilkan arti pengalaman masa lalu dengan mengubah pandangan para
pekerja bahwa sikap dan perilaku lama mereka sebagai hal yang tidak bermanfaat
dan karenanya perlu untuk diubah. keempat, secara konsisten mengaitkan ganjaran
(insentif) dengan keinginan untuk berubah dan menerapkan hukuman bagi penolakan
untuk berubah. Ringkasnya, tahap pemanasan adalah upaya pencairan kebiasaan dan
tradisi lama para pekerja untuk dapat menerima alternatif baru. Dalam kaitan
dengan tulisan terdahulu, tentang teknik analisis untuk melakukan strategi
perubahan, proses pemanasan dapat dilakukan apabila faktor-faktor pendukung diperkuat
dan faktor penghambat diperkecil.
Selanjutnya dalam proses pengubahan
dapat dilakukan dengan menempuh salah satu dari dua mekanisme berikut, yaitu
proses identifikasi dan internalisasi Identifikasi terjadi apabi la disediakan
situasi atau model didalam lingkungan kerja, dimana para pekerja dapat
mempelajari pola perilaku baru melalui model -model yang ditampilkan dengan
mengidentifikasi dan bahkan menyukai model-model tersebut. Adapun melalui
proses internalisasi, para pekerja ditempatkan dalam situasi dimana mereka
dituntut untuk menunjukkan perilaku baru jika mereka ingin berhasil dalam
situasi baru tersebut. Mereka mempelajari pola perilaku baru bukan hanya
sekedar untuk bertahan, akan tetapi juga terdorong oleh kebutuhan yang kuat
mengikuti perilaku baru itu. Proses identifikasi dan internalisasi bukanlah
proses yang berdiri sendiri, dimana perubahan yang efektif dapat terjadi
sebagai hasil dari pengkombinasian kedua proses tersebut didalam melakukan
strategi perubahan. Sedangkan proses pemaksaan melalui mekanisme ganjaran dan
hukuman lebih tepat digunakan dalam proses pemanasan bukan sebagai alat
pengubahan.
Apabila perilaku baru telah
diinternalisasi melalui proses yang dipelajari maka secara otomatis hal
tersebut mengarah kepada proses pembekuan kembali, yang secara alamiah telah
disesuaikan dengan kepribadian seseorang. Maka proses pembekuan kembali adalah
suatu pembentukan perilaku baru sebagai perilaku terpola kedalam kepribadian
seseorang yang secara emosional berlangsung terus secara signifikan. Namun
demikian perilaku baru melalui proses identifikasi tidak dapat bertahan lama
apabila tidak diperkuat oleh dukungan dan penguatan sosial oleh lingkungan
dimana ia bekerja untuk mengungkapkan sikap baru tersebut. Hal ini menunjukkan
bahwa, betapa pentingnya bagi para pekerja yang terlibat dalam proses perubahan
untuk berada dalam lingkungan yang secara terus -menerus memperkuat perubahan
yang diinginkan. Kebanyakan program pelatihan tidak berdampak lama apabila para
pekerja kembali ke “habitat” yang tidak memperkuat pola baru, apalagi jika
habitat itu tidak bersahabat dengan pola baru yang akan diterapkan.
Yang perlu ditekankan dalam proses
pembekuan kembali, adalah bagaimana agar perilaku baru yang telah termodifikasi
tidak sirna. Untuk itu perlu dilakukan dua pendekatan, pertama , melalui
penguatan berkelanjutan agar para pekerja dapat mempelajari hal baru dan
memodifikasi perilakunya dengan cepat. Kedua, melalui penguatan
berselang-seling, dimana para pekerja di kondisikan untuk bertahan lebih lama
dalam pola perilaku barunya tanpa harus sering diperkuat, yaitu dengan peroses
belajar dengan penerapan jadwal berkala penguatan berkelanjutan dan konsisten .
Jika para pekerja telah mempelajari pola baru, maka peralihan ke penguatan
berselang-seling dapat menjamin perubahan dalam jangka panjang .Strategi
perubahan direktif yang bersifat paksaan tidak akan efektif untuk
diterapkan,jika tidak dilakukan terlebih dahulu proses pemanasan yang
signifikan, yaitu dengan memperlemah faktor-faktor penghambat untuk
ditransformasikan menjadi faktor pendukung.Sementara strategi perubahan
partisipatif akan lebih tepat digunakan dengan memperlunak faktor-faktor
penghambat melalui penyampaian informasi baru yang tidak bermuatan
ancaman–melalui komunikasi dua arah-yang mengarah pada upaya mengubah sikap dan
pada akhirnya mengubah perilaku para pekerja.
Dengan demikian, melalui
pemanasan atau pencairan megandung tujuan agar gagasan atau praktek lama dalam
suatu organisasi perlu disisihkan supaya gagasan atau praktek baru dapat segera
dipelajari. Namun demikian perlu disadari, bahwa meniadakan praktek dan
kebiasaan lama sama sulitnya dengan mempelajari dan mempraktekan gagasan baru.
Sementara pengubahan adalah langkah mempelajari gagasan dan praktek baru agar
para pekerja dapat berfikir dan berprestasi dengan cara yang baru. Pembekuan
kembali adalah memadukan hal -hal yang telah dipelajari kedalam praktek yang
sesungguhnya. Dengan kata lain , hal yang telah dipelajari seyogyanya tidak
hanya sekedar diketahui, namun akan lebih bermakna jika dilakukan oleh para
pekerja, sehingga suatu praktek yang berhasil merupakan tujuan akhir dari
langkah pembekuan kembali.
Ketika individu dan/atau tim kerja
mulai lebih kompak dan padu (cohesive), sementara perbedaan internal dapat
dikesampingkan maka loyalitas para pekerja kepada tim kerja dan pemimpin
semakin menguat. Dalam konteks ini suasana tim kerja lebih berorientasi pada
tugas dan keberhasilan kelompok menjadi prioritas yang paling penting. Pada
saat tim kerja lebih toleran terhadap pemimpin, maka pemimpin dapat mulai
mengubah gaya kepemimpinannya kearah yang lebih otokratis, sehingga tim kerja
lebih terorganisasi dan lebih terstruktur, dimana setiap anggota tim kerja
dituntut untuk lebih loyal dan bersatu guna menciptakan benteng yang tangguh.
Namun ekses dari munculnya ego kelompok, dapat menimbulkan persaingan antar tim
kerja, dimana tim kerja yang satu mulai memandang tim kerja yang lain sebagai
“musuh”, yaitu hanya mengakui kekuatan tim kerjanya sendiri dan mengecilkan
kekuatan tim kerja yang lain. Adanya pertikaian antara tim kerja yang
meningkat, sementara frekuensi komunikasi menurun dapat menyebabkan tumbuhnya
perasaan negatif dan persepsi yang keliru. Apabila antar tim kerja dipaksa
untuk berinteraksi, biasanya masing -masing enggan menyimak pendapat pihak tim
kerja lain dan biasanyahanya bersedia menyimak hal yang mendukung argumentasi
masing-masing. Meskipun persaingan dan reaksi yang timbul mungkinakan
bermanfaat bagi internal tim kerja untuk motivasi berprestasi dan efektifitas
bekerja , namun konsekuensi negatif dapat muncul pada interaksi dan kerja sama
antar tim kerja. Situasi akan lebih sulit lagi , apabila antar tim kerja
terjadi konfrontasi menang-kalah yang meskipun akhirnya akan muncul pemenang, begitu
pula pihak yang kalah biasanya tidak merasa dikalahkan dan tegangan antar
kelompok dan/atau tim kerja akan semakin tinggi dari sebelum dimulainya
persaingan. Lebih jauh lagi pihak pemenang seringkali lupa daratan dan merasa
puas , sehingga acapkali mengabaikan tujuan yang hendak dicapai oleh
organisasi. Sementara pihak yang kalah cenderung mengembangkan konflik internal
dan pada saat yang sama. berusaha mencari sebab-sebab kekalahan dengan
mengkambing hitamkan seseorang. Apabila konsekuensi negatif dari terjadinya
konflik antar tim kerja melebihi manfaatnya, maka tugas para pemimpin
seyogyanya berupaya mencari jalan mengurangi tensi persaingan antar kelompok.
Mengingat lebih sukar mengurangi konflik antar tim kerja apabila itu sudah
terjadi, maka perlu diupayakan langkah preventif untuk mencegahnya. Pertama,
pemimpin perlu menekankan pada kontribusi prestasi seluruh timkerja terhadap
pencapaian tujuan organisasi, tidak pada pencapaian tujuan parsial salah satu
unit tim kerja saja. Kedua, dilakukan upaya peningkatan frekuensi komunikasi
dan interaksi antar tim kerja dan mengadakan sistem insentif bagi tim kerja
yang saling membantu satu dengan lainnya. Ketiga , jika dimungkinkan setiap
individu dari tim kerja secara periodik dapat dirotasi untuk mengenyam
pengalaman kerja didalam tim kerja yang lain guna memperluas dasar empati dan
saling pengertian atas masalah-masalah organisasi secara keseluruhan. Pada sisi
yang lain,persaingan yang dicirikan dalam situasi konfrontasi menang- kalah,
dimana konflik kurang terbuka, kurangnya interaksi total antar tim kerja ,dan
tidak adanya kesediaan memberikan sumberdaya dan informasi kepada tim
kerjalain, akan memperlemah potensi efektifitas organisasi secara
keseluruhan.Secara umum, strategi dasar untuk mengurangi konflik antar tim
kerja adalah dengan menetapkan tujuan yang mengacu pada visi dan misi yang
disepakati bersama oleh semua tim kerja dalam organisasi, menciptakan strategi
perundingan yang memicu interaksi antar tim kerja dan bila mana perlu
menetapkan musuh bersama.
Ada tiga situasi dan posisi konflik
dalam kaitannya dengan konflik antar tim kerja, yakni, pertama, suatu konflik
tidak dapat dihindarkan dan “ rujuk ” tidak dimungkinkan, kedua , konflik dapat
dihindarkan dan rujuk tidak dimungkinkan, dan ketiga , meskipun ada konflik
namun rujuk dapat diupayakan. Untuk konteks yang pertama, apabila tidak terjadi
pertaruhan yang mengancam terhadap keberadaan status para pekerja, maka reaksi
mereka cenderung pasif dan membiarkan nasib yang menyelesaikan konflik
tersebut. Apabila tingkat taruhannya sedang-sedang saja, maka mereka akan
memperkenan kan campur tangan pihak ketiga untuk memutuskan penyelesaian
konflik tersebut. Namun apabila tingkat pertaruhannya sangat tinggi, para
pekerja akan melibatkan diri secara aktif dalam konfrontasi menang-kalah dan
bahkan berjuang untuk memperebutkan kekuasaan. Untuk konteks yang kedua, para
pekerja akan bersikap pasif dan masa bodoh jika keberadaan konflik itu tingkat
pertaruhannya rendah, apabila tingkat pertaruhannya sedang, mereka akan
menghindar dari situasi konflik seperti itu. Namun jika tingkat pertaruhannya
tinggi, mereka akan terlibat secara aktif dan jika kalah akhir nya akan
mengundurkan diri. Konteks ketiga, jika konflik tetap ada dan rujuk masih.
dimungkinkan maka para pekerja akan bersifat pasif dan berupaya memperlunak
siituasi apabila tingkat per taruhannya rendah. Begi tu pula para pekerja akan
bernegosiasi dan menempuh bentuk perundingan apabila tingkat per taruhannya
sedang saja . Namun apabila tingkat per taruhannya tinggi , mereka akan
melakukan upaya pemecahan konflik secara aktif.
Dalam mengelola konflik, dengan menget
ahui potensi konflik dan tingkat per taruhan konflik itu bagi para pekerja,
maka kita dapat memprediksi kemungkinan perilaku yang akan muncul dan
sebaliknya. Kita juga dapat memprediksi persepsi para pekerja tentang konflik
dalam situasi konflik tersebut. Apabila kita melihat tim kerja terlibat dalam
pertarungan kekuasaan secara aktif , maka kita dapat memprediksi bahwa tingkat
pertaruhan konflik tersebut sangat tinggi dan kecil kemungkinan rujuk dapat
dicapai dalam waktu dekat . Pada saat yang sama ketika konflik tersebut tidak
dapat dihindarkan, sementara rujuk pun sulit dicapai dengan taruhan yang sangat
tinggi, maka dapat diprediksi bahwa konflik akan mengarah pada situasi
perebutan kekuasaan yang bersifat “hidup atau mati” atau terciptanya situasi
kheos. Jika konflik sudah mencapai tingkat kritis seperti ini, intervensi
pihakketiga perlu segera dilakukan untuk memperendah tingkat pertaruhan
sehingga pihak yang bertikai bersedia untuk lebih jauh menerima intervensi
pihak ketiga. Dengan diterimanya campur tangan pihak ketiga , maka upaya dapat
diarahkan untuk mengubah persepsi dan asumsi setiap pelaku yang terlibat dalam
konflik untuk ikut menanggulangi masalah yang dihadapi secara aktif, sehingga
rujuk dapat dimungkinkan.
Pada hakikatnya, adanya konflik dalam
suatu organisasi tidak harus selalu dipandang sebagai faktor yang merugikan,
sebaliknya maslahat dapat dipetik khususnya guna men stimulasi para pekerja
untuk aktif mencari pendekatan baru dalam pekerjaan. Maslahat lain yang dapat
dipetik adalah masalah yang tadinya tersembunyi secara laten dapat diangkat
kepermukaan untuk segera dapat ditanggulangi, sejalan dengan itu dapatberfungsi
mengembangkan pemahaman yang lebih mendalam terhadap pihak-pihak yang terlibat
berkenaan dengan konflik tersebut. Sementara kerugiannya sering kita rasakan
bersama, dimana kekompakan kerjasama antar tim kerja yang sudah terjalin
menjadi terganggu bahkan rusak sama sekali, akibat tidak adanya saling
kepercayaan, saling mengalahkan, serta kelelahan yang berkepanjangan yang dapat
menu runkan motivasi kerja. Situasi konflik dapat menimbulkan empat akibat,
pertama, adalah situasi ‘kalah-kalah’, dimana para pekerja dalam situasi ini
ingin agar konflik dapat merusak kedua-belah pihak yang berakibat destruktif.
Akibat yang kedua, adalah situasi ‘menang – kalah’, dimana para pekerja
berpikiran akan memperoleh keuntungan jika mereka dapat mengalahkan rivalnya dan
beranggapan kemenangan hanya akan dicapai dengan mengalahkan pihak yang
lainnya. Terakhir atau ketiga, adalah situasi ‘menang-menang’,dimana dalam
situasi ini dapat dicarikan pemecahan kreatif yang menguntungkan kedua belah
pihak, dengan tujuan mencari titik temuterpadunya kebutuhan kedua belah pihak,
melalui dialog, kolaborasi, solusi dan kompromi yang konstruktif.
Dengan demikian, seorang pemimpin dalam
melaksanakan tahapan perubahan melalui proses pemanasan, pengubahan,dan
pembekuan kembali,perlu dilakukan secara hati -hati dan sistematis, sehingga
munculnya konflik yang tidak perlu dapat terant isipasi dan dihindari. Maka
tujuan umum seorang pemimpin dalam memandang aspek manusia dalam organisasi,
yakni memperbaiki dan menjaga keseimbangan antar tim kerja di dalam organiasi,
dengan membantu penyesuaian diri pribadi-pribadi yang berada dalam tim kerja
pada saat mereka merasa terganggu oleh adanya suatu perubahan yang memicu
timbulnya konflik .Last but not least, dengan memahami paparan topik ini diharapkan
kita lebih memiliki kemampuan untuk mengatasi berbagai konflik, baik yang masih
bersifat laten maupun konflik terbuka , serta dilengkapi kesadaran bahwa
fenomena konflik memiliki nuansa beragam dan spesifik, yang perlu didekati
dengan cara yang spesifik pula, dan hindarilah simplifikasi dan generalisasi.
SUMBER : http://id.wikipedia.org/wiki/Konflik